Tatuis,
Kecelakaan Berbuah Manis
Label
Tatuis semakin dikenal sebagai sajadah dan mukena fashionable. Berawal dari sebuah ‘kecelakaan’ produk rumahan itu
telah diekspor ke manca negara.
Awalnya,
seperti kebanyakan orang, ia membayangkan dapat menekuni profesi sesuai
pendidikannya yakni studi ekonomi di Ohio State University, Amerika Serikat.
Namun, nasib berkata lain. Setelah lulus kuliah ternyata situasi memaksanya
berdagang pakaian. Mulai dari berdagang baju dari Tanah Abang hingga batik
dari Indramayu. Inilah ‘kecelakaan’ pertama dalam hidupnya.
Menyulap Bahan Sisa Menjadi Uang
Status wanita kelahiran Bandung, 30 Maret 1977 ini
sebagai pedagang ternyata harus diakhiri hanya karena sebuah perkara yang
terbilang sepele. Suatu
hari Rina menggelar barang dagangannya dalam pameran di sebuah gedung
perkantoran di kawasan Sudirman. Tak terduga ia bertemu teman semasa kuliah
yang berpenampilan layaknya manajer perusahaan sukses. Rupanya ia bekerja di
gedung tersebut.
Rasa
malu dan kecil hati pun sontak menyergap, Who are you? Where are you now?
Lulusan Amerika hanya bisa berdagang baju? Look at you friends! Rangkaian
pertanyaan itu bak gugatan yang terus berkecamuk di benaknya.
“Ketika
menemui orang tua untuk berkeluh-kesah, Ayah saya bilang, menjadi pegawai atau
pengusaha melalui perjuangan yang berbeda. Kalau pengusaha harus merintis dari
awal yang penting punya goal jelas,
jangan malu dan pantang menyerah,” cerita Rina menirukan nasihat Ayahnya. Pesan
dari sang Ayah itulah yang terus memotivasi dirinya untuk menjadi ‘seseorang’.
Awal
2007, Rina mulai beralih pada produksi home
decoration seperti sarung bantal dan
taplak meja dengan mengandalkan modal Rp 5 juta. Workshop pun terletak di
garasi mobil rumahnya di kawasan Tebet Barat, Jakarta Selatan. Mulai dari
mendesain, memilih bahan, memproduksi hingga pemasarannya dilakukannya sendiri.
Desain produknya sendiri terinspirasi dari majalah luar negeri yang
diperolehnya dari tukang loak.
Sambutan pasar mulanya cukup baik, tapi setelah bergulir
usaha tersebut mulai merosot drastis.
“Suatu hari ketika jalan-jalan ke mal, saya melihat
banyak yang jual barang serupa produk saya tapi harganya jauh lebih murah. Dari
situ saya pikir, pantas penjualan berkurang.’’
Ibu dua anak bernama Safanah dan Tazaka ini memutar otak
untuk keluar dari situasi tak nyaman tersebut. Sampai ia merumuskan kesimpulan bahwa kuncinya
adalah kreativitas.
Kemudian ia mengembangkan ornamen sarung bantal dengan bordir benang emas. Ternyata pasar menyambut positif dan usahanya perlahan mulai berkembang. Sayang situasu tersebut tak bertahan lama. Krisis moneter tahun 2008 berimbas pada melonjaknya biaya produksi yang tak sebanding dengan harga jual. Terpaksa ia menghentikan produksi meskipun bahan baku yang tersisa masih cukup banyak.
Kemudian ia mengembangkan ornamen sarung bantal dengan bordir benang emas. Ternyata pasar menyambut positif dan usahanya perlahan mulai berkembang. Sayang situasu tersebut tak bertahan lama. Krisis moneter tahun 2008 berimbas pada melonjaknya biaya produksi yang tak sebanding dengan harga jual. Terpaksa ia menghentikan produksi meskipun bahan baku yang tersisa masih cukup banyak.
Tak
putus asa, Rina berupaya menggali kreativitas untuk menyulap bahan sisa menjadi
uang lantaran tak tega melihat para pegawainya harus menganggur. Terlintaslah
ide membuat sajadah dengan pertimbangan terbilang mudah karena berbentuk kotak
mirip sarung bantal.
“Jadi
bisa dibilang bisnis ini sebenarnya tidak sengaja alias kecelakaan.”
Rina
memberi label Tatuis semata untuk mengenang tingkah lucu putrid pertamanya yang
saat berusia dua tahun menyebut kata ‘menulis’ dengan ‘tatuis’
Terlahir di Keluarga Pengusaha
Ketika
menawarkan karyanya ke sejumlah toko, Rina mengaku sempat mendapat sambutan
kurang menyenangkan seperti dicemooh bahkan ditolak mentah-mentah. Namun
respons negatif tersebut justru memacu dirinya untuk terus berinovasi. Sejumlah
10 sajadah akhirnya diterima di sebuah toko. Kendati harus member diskon besar
dan menunggu waktu pembayaran yang cukup lama, toh ia merasa senang. Seperti
yang diutarakannya,
“Saya
piker ya sudah biarlah sedikit berkorban yang penting sudah bisa masuk pasar.”
Seiring
perjalanan waktu, Tatuis dapat diterima pasar lebih luas. Dengan penjualan
sajadah yang terus meningkat, banyak pihak menyarankan untuk memproduksi
mukena. Tanpa ragu, Rina menangkap peluang tersebut.
“Padahal
saya tidak punya pengetahuan apapun dalam hal desain mukena. Saya hanya ingin
membuat sesuatu yang berbeda.”
Karya
perdana sekaligus masterpiece berupa
mukena elegan terbuat dari bahan katun silky
berwarna putih dihiasi bordir emas metalik yang diberi nama Diva.
“Teknik
bordir benang emas sangat sulit dan detail.”
Kendati
dibandrol dengan harga cukup tinggi, Rp 1.545.000,- namun animo pasar cukup
positif. Biasanya, mukena tersebut dijadikan mas kawin atau hadiah. Atas
permintaan para penjual dan konsumen setianya, ia tertantang membuat mukena
dengan harga lebih terjangkau, salah satunya seri Tiara. Walaupun harganya jauh
lebih murah, yakni berkisar antara Rp 250.000,- hingga Rp 275.000,- namun
kualitas produknya tetap dijaga. Produk Tiara pun terus dikembangkan dengan
desain serta material yang inovatif di antaranya menggunakan bahan denim untuk
bawahan mukena.
Bermodalkan
keberanian dan kreativitas itulah eksistensi Tatuis terhitung tiga tahun dengan
omzet menembung angka Rp 1,2 miliar per tahun dan target produksi sekitar 100
item per bulan. Meskipun tidak membuka toko khusus dan hanya mengandalkan jalur
distribusi melalui online atau agen yang telah tersebar di banyak tempat,
produknya berhasil merambah Singapura dan Hongkong.
Namun
ia menegaskan, jiwa wirausaha tidak ada hubungannya dengan factor keturunan.
Siapapun yang memiliki impian dan mempunyai niat yang kuat untuk mewujudkan
impiannya dengan bekerja keras dan pantang putus asa, tak mustahil akan meraih
mimpinya.
Comments