Kata ini yang terbesit pada pikiranku. Banyak teman-teman yang sudah menikah dan menikmati pernikahan dengan penuh kegembiraan bahkan diawali dengan kemeriahan sebagai bentuk suka cita menyongsong masa depan bersama.
Rasa cinta yang dibangun dan dipertahankan selalu dielu-elukan demi menjaga keharmonisan hidup. Walau itu saja tak cukup, memenuhi segala keinginan mereka selanjutnya. Ada satu hal yang baru aku sadari setelah memutuskan untuk mempersiapkan semua hal termasuk cinta dan pernikahan dengan baik dari sekarang.
Hampir di setiap perjumpaan dengan para pelaku pernikahan, beberapa diantaranya memang sudah siap secara mental dan spiritual untuk menjalin asmara dunia. Tak sedikit pula yang belum mampu meleburkan hati dan pikiran mereka menjadi satu. Kisah menarik yang aku alami adalah ketika ikut pengajian dan tanpa sengaja, ustadz memberikan penjelasan singkat tentang pernikahan setelah seorang wanita mengajukan pertanyaan padanya.
Fokusku bukan pada pertanyaan wanita tersebut melainkan pada isi penjelasan dari ustadz yang membawa ke dalam alam bawah sadarku bahwa selama ini pernikahan memiliki 2 sisi yang bertolak belakang, sering kali disepelekan dan sering juga dipersulit.
Pernikahan sering kali dianggap sesuatu yang enak, sesuatu yang menyenangkan dan sesuatu yang apa yang dibayangkan banyak orang sebagai sebuah kebebasan seksual. Tapi tak sesepele itu menterjemahkan arti dari pernikahan sesungguhnya.
Khususnya bagi seorang laki-laki akan menjadi seorang pria dewasa. Perlu beberapa kematangan untuk bisa benar-benar siap menghadapi lika-liku pernikahan.
Tahapan ijab qobul adalah tahapan dimana amanah dari mertua untuk menjaga dan merawat anaknya harus dipegang secara teguh. Wanita yang akan mendampinginya akan menjadi bagian hidup yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pria yang meminangnya. Porsi ini berlaku tidak hanya di dunia saja melainkan sampai ke akhirat kelak. Jika kamu belum mampu bertanggung jawab, kumpulkan bekal terlebih dahulu. Bekal yang dimaksud adalah ilmu agama, mental dan karakter.
Ini tentu tak mudah bagi bujangan yang keasyikan hidup mandiri tanpa memperdulikan orang lain. Bagaimana mungkin dia mampu menafkahi keluarga kecilnya jika untuk sekedar berbagi saja tak mau. Apa yang dia miliki adalah milik dia semata. Padahal jika keluarga barunya sudah ada, maka harta yang dia terima tak lagi sepenuhnya untuk dirinya sendiri. Keluarganya juga punya porsi untuk bisa menikmati jerih payah yang didapatkan. Jika masih saja cuek dan egois, berarti kalian gagal memenuhi kewajiban yang secara kodrat akan kalian pegang.
Peduli ketika anaknya sakit, peduli ketika istirnya sakit, peduli ketika di dalam keluarganya ada masalah, pedulit untuk bisa mencari solusi terbaik menyelesaikan persoalan yang ada. Butuh kerelaan dan kesensitifan hati untuk bisa peduli. Tak banyak yang bisa jika masih mementingkan diri sendiri.
Mengalah untuk makan jika anaknya belum makan. Mengalah untuk bisa membeli kebutuhan pribadi jika kebutuhan keluarga lebih penting dan mendesak. Mengalah untuk membahagiakan mereka. Menjadi orang tua setelah punya anak tentu harus siap untuk bisa mengalah dan berlaku lembut dengan mereka. Membuat mereka tersenyum dan baik-baik saja itu lebih berarti.
Apalagi jika istiranya hamil, anaknya yang menangis, kita harus selalu ada untuk mereka disaat apapun. Jika mereka sedang susah kita datang dengan membuat mereka bahagia. Jika mereka sedang menangis kita datang membuat mereka tertawa. Jika mereka takut kita siap memberikan perlindungan kepada mereka. Sedia setiap waktu kunci agar istri dan anak tetap berada bersama kita.
Rasa cinta yang dibangun dan dipertahankan selalu dielu-elukan demi menjaga keharmonisan hidup. Walau itu saja tak cukup, memenuhi segala keinginan mereka selanjutnya. Ada satu hal yang baru aku sadari setelah memutuskan untuk mempersiapkan semua hal termasuk cinta dan pernikahan dengan baik dari sekarang.
Hampir di setiap perjumpaan dengan para pelaku pernikahan, beberapa diantaranya memang sudah siap secara mental dan spiritual untuk menjalin asmara dunia. Tak sedikit pula yang belum mampu meleburkan hati dan pikiran mereka menjadi satu. Kisah menarik yang aku alami adalah ketika ikut pengajian dan tanpa sengaja, ustadz memberikan penjelasan singkat tentang pernikahan setelah seorang wanita mengajukan pertanyaan padanya.
Fokusku bukan pada pertanyaan wanita tersebut melainkan pada isi penjelasan dari ustadz yang membawa ke dalam alam bawah sadarku bahwa selama ini pernikahan memiliki 2 sisi yang bertolak belakang, sering kali disepelekan dan sering juga dipersulit.
Pernikahan sering kali dianggap sesuatu yang enak, sesuatu yang menyenangkan dan sesuatu yang apa yang dibayangkan banyak orang sebagai sebuah kebebasan seksual. Tapi tak sesepele itu menterjemahkan arti dari pernikahan sesungguhnya.
Khususnya bagi seorang laki-laki akan menjadi seorang pria dewasa. Perlu beberapa kematangan untuk bisa benar-benar siap menghadapi lika-liku pernikahan.
1. Laki-laki harus siap bertanggung jawab
Tahapan ijab qobul adalah tahapan dimana amanah dari mertua untuk menjaga dan merawat anaknya harus dipegang secara teguh. Wanita yang akan mendampinginya akan menjadi bagian hidup yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pria yang meminangnya. Porsi ini berlaku tidak hanya di dunia saja melainkan sampai ke akhirat kelak. Jika kamu belum mampu bertanggung jawab, kumpulkan bekal terlebih dahulu. Bekal yang dimaksud adalah ilmu agama, mental dan karakter.
2. Laki-laki harus siap berbagi
Ini tentu tak mudah bagi bujangan yang keasyikan hidup mandiri tanpa memperdulikan orang lain. Bagaimana mungkin dia mampu menafkahi keluarga kecilnya jika untuk sekedar berbagi saja tak mau. Apa yang dia miliki adalah milik dia semata. Padahal jika keluarga barunya sudah ada, maka harta yang dia terima tak lagi sepenuhnya untuk dirinya sendiri. Keluarganya juga punya porsi untuk bisa menikmati jerih payah yang didapatkan. Jika masih saja cuek dan egois, berarti kalian gagal memenuhi kewajiban yang secara kodrat akan kalian pegang.
3. Laki-laki harus siap peduli
Peduli ketika anaknya sakit, peduli ketika istirnya sakit, peduli ketika di dalam keluarganya ada masalah, pedulit untuk bisa mencari solusi terbaik menyelesaikan persoalan yang ada. Butuh kerelaan dan kesensitifan hati untuk bisa peduli. Tak banyak yang bisa jika masih mementingkan diri sendiri.
4. Laki-laki harus siap mengalah
Mengalah untuk makan jika anaknya belum makan. Mengalah untuk bisa membeli kebutuhan pribadi jika kebutuhan keluarga lebih penting dan mendesak. Mengalah untuk membahagiakan mereka. Menjadi orang tua setelah punya anak tentu harus siap untuk bisa mengalah dan berlaku lembut dengan mereka. Membuat mereka tersenyum dan baik-baik saja itu lebih berarti.
5. Laki-laki harus siap sedia
Apalagi jika istiranya hamil, anaknya yang menangis, kita harus selalu ada untuk mereka disaat apapun. Jika mereka sedang susah kita datang dengan membuat mereka bahagia. Jika mereka sedang menangis kita datang membuat mereka tertawa. Jika mereka takut kita siap memberikan perlindungan kepada mereka. Sedia setiap waktu kunci agar istri dan anak tetap berada bersama kita.
Comments